KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) SEBAGAI PINTU MASUK MENSOSIALISASIKAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Di susun oleh :
Hj. Ummi Maskanah, SH.,MHum.,MM.
Dosen, Kepala Laboratorium Hukum UNPAS, Advokat
Ketua Bantuan Hukum Perempuan dan anak (BHPA) “DELIMA”
A. PENDAHULUAN
Asas Usaha Bersama dan asas Kesadaran Hukum sebagaimana tertuang dalam GBHN merupakan penjabaran dari pernyataan bahwa negara kita adalah Negara Hukum dan negara yang berasaskan Kekeluargaan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesadaran Hukum dapat dilakukan dengan usaha bersama dan kekeluargaan, artinya dapat dimulai dari lingkungan terkecil kita yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak baru kemudian dalam komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui kegiatan sosialisasi-sosialisasi peraturan perundang-undangan secara berkesinambungan. Kegiatan Pembinaan tersebut dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan di masyarakat maupun instansi. Kegiatan ini sebenarnya cenderung akan dapat membekali dirinya sendiri apabila suatu saat berhadapan dengan Hukum.
Sangat strategis apabila kesadaran terhadap Hukum tersebut dimulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga tadi. Sebenarnya kalau kita kaji lebih seksama bahwa cikal bakal pembentukan kesadaran Hukum adalah bagaimana sebenarnya kita menanamkan perilaku, moral, etika, dan perlakuan terhadap anggota keluarga tadi, sehingga akan terbentuk atau terpola suatu pergaulan hidup yang saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lain sejak dini. Oleh karena itu ketika mereka melangkah keluar (terjun di masyarakat) pola-pola yang ia dapatkan di keluarga yang saling menghormati dan menghargai tadi (missal) akan diterapkan pula dalam pergaulan di masyarakat.
Terlebih lagi apabila kita melihat fenomena perubahan masyarakat saat ini yang mengarah kepada masyarakat modern, yang konon kabarnya berkiblat kebarat-baratan, sehingga terkesan akan membawa serta lunturnya ciri khas masyarakat Indonesia yakni kekeluargaan, belum lagi akibat berkembangnya perekonomian dunia yang sangat mempengaruhi seluruh kehidupan lapisan masyarakat negara berkembang seperti Indonesia, yang membawa dampak terhadap terganggunya keharmonisan keluarga atau rumah tangga yang dapat mengakibatkan timbulnya tindakan kekerasan yang dapat merugikan pihak lain (kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak). Meskipun permasalahan keluarga merupakan masalah klasik dan yang pernah terjadi di hampir seluruh kehidupan keluarga baik di sector rumah tangga (domistik) maupun publik.
Dalam menyikapi hal tersebut ternyata pemerintah pun telah menyiapkan aturan yang dapat kita lihat bersama yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Trafiking dan lain sebagainya.
Lahirnya UUPKDRT perlu kita sambut dengan gembira, agar kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari, dan keharmonisan dalam rumah tangga tetap terjaga. Oleh karenanya perlu disikapi bahwa hingga saat ini UUPKDRT tersebut selain Uunya relatif masih baru, sehingga belum banyak masyarakat yang memahami tentang UU tersebut, maka implementasinya pun belum maksimal dan belum mendasar.
Namun demikian perlu juga diingat bahwa dengan berlakunya UUPKDRT tersebut ada yang pro dan ada yang kontra, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa masalah keluarga adalah identik dengan aib keluarga, belum lagi banyaknya kritikan-kritikan dari pemuka agama terhadap UU tersebut. Maka dari itu agar upaya pemerintah untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan dalam keluarga tersebut tidak sia-sia, artinya maksimal (menciptakan kepastian Hukum), diperlukan adanya upaya untuk mensosialisasikan UU tersebut kepada masyarakat luas.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 telah ditentukan bahwa salah satu kebijakan Pembangunan Hukum Nasional pada intinya ialah “untuk meningkatkan budaya Hukum dapat melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan dst…”, maka diperlukan adanya sinergi antara aparatur negara dengan elemen masyarakat yaitu dapat diwujudkan dengan kegiatan KUA melalui BP4, yakni ketika seseorang hendak mendaftarkan perkawinannya, terlebih dahulu diberikan masukan dan atau nasehat tentang apa yang menjadi hak dan kewjiban serta larangan-larangan apa sajakah yang dapat mengganggu kelangsungan hidup rumah tangga. Hal itu dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum atau penerangan langsung terhadap calon-calon mempelai tentang apa yang telah dibicarakan di atas. Peran BP4-pun juga akan berfungsi kembali ketika suami, istri mempunyai persoalan dalam runah tangganya yang diperslakan dating ke BP4 guna mendapatkan penjelasan tentang persoalannya dan selakigus BP4 juga dapat mencarikan solusi apakah yang dapt ditempuh oleh keduanya, karena salah satu tujan UUPKDRT adalah Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dari penyuluhan Hukum tentang KDRT melalui kegiatan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum tersebut paling tidak bertujuan untuk menjadikan masyarakat dapat memahami tentang apa itu KDRT, sehingga setiap warga menyadari akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaannya dapat berupa suatu pertemuan dengan cara Sambungrasa.
B. PEMBAHASAN
Dalam memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentunya yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah pemahaman tentang apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam arti yang sebenarnya (arti yang dimaksud dalam UUPKDRT). Berikut ini kami mencoba memaparkan pengertian tersebut.
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkup rumah tangga.
Ruang Lingkup PKDRT meliputi :
a. Suami, Istri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Asas dan tujuannya adalah :
a. Penghormatan Hak Asasi Manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Non-Diskriminasi, dan
d. Perlindungan korban;
Tujuannya adalah :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
(Agar pemaparannya akan lebih menarik dan dapat mudah dipahami, kegiatan sambung rasa tersebut dapat mempergunakan media gambar-gambar yang berwarna yang dibagikan kepada peserta sambungrasa, dan mereka diminta untuk membuat suatu penjelasan dari gambar-gambar tersebut serta sekaligus diminta komentarnya dan penyelesaiannya tentang seandainya hal tersebut terjadi dalam lingkungan keluarganya ) yaitu dalam bentuk simulasi
Setelah itu barulah akan dijelaskan lebih lanjut tentang keseluruhannya.
Urusan rumah tangga semula dianggap sebagai urusan intern di mana orang lain tidak berhak ikut campur, namun dengan lahirnya UU PKDRT tidak demikian adanya artinya ada pihak lain yang turut campur “Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memeberikan perlindungan darurat, dan membantu proses pemajuan permohonan penetapan perlindungan”.
Kita jelaskan pula tentang Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan yang terselubung atau tersembunyi dan merupakan suatu fenomena gunung es, artinya suatu ketika akan meleleh bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran diri bagi kaum wanita untuk dilindungi oleh Hukum dan atau merasa aman dihadapan siapa pun. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Dalam kenyataannya tindak KDRT yang terlihat dipermukaan hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan yang belum muncul dipermukaan, atau masalah KDRT yang dilaporkan atau fakta yang teridentifikasi hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan yang ada. Hal ini dikarenakan adanya beberapa factor penyebab antara lain :
a. Korban menganggap masalah itu adalah masalah intern suami istri, sehingga tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.
b. Korban sendiri merasa malu atau akan menjadi aib keluarga, karena sebagian perempuan menganggap apabila membuka kejelekan suami dimuka umum maka akan menjadi aib keluarga, sehingga akan pula mencemarkan nama baik keluarga.
c. Korban merasa takut kalau melapor kePolisi, kemudian kasusnya diproses, harus mengeluarkan uang banyak untuk membiayai proses tersebut, atau malah sebaliknya setelah diproses ia akan kehilangan nafkah baik untuk dirinya maupun untuk anak-anaknya.
d. Korban beranggapan bahwa kasus KDRT tidak bisa diselesaikan melalui pidana, dan pelaku belum tentu dapat dihukum dengan UUPKDRT, karena sulitnya mencari bukti-bukti khususnya tentang kekerasan terhadap psikis, sex dan penelantaran ekonomi.
e. Korban juga beranggapan bahwa dari sekian banyak kasus KDRT yang sampai peradilan dan hasilnya hanya sedikit yang dapat memuaskan pihak korban, sehingga dengan demikian yang diperoleh bukan keadilan dan perlindungan terhadap dirinya tetapi malah sebaliknya yaitu semakin terluka.
f. Korban kuatir akan adanya pembalasan dari pelaku apabila tindakan kekerasannya dilaporkan kepada yang berwajib.
Factor-faktor keengganan tersebut biasanya juga didukung oleh factor budaya, factor struktur dominasi ekonomi, dan factor agama.
Menjadi suatu kendala juga, seandainya korban mau melapor pun, belum tentu pihak yang berwajib mau mempergunakan UUPKDRT, karena telah dikemukakan di atas bahwa khususnya dalam hal ketentuan alat bukti yang kurang jelas, sehingga akan lebih aman apabila pelaku atau tersangka dikenakan KUHP. Terlebih lagi sulit untuk membuktikan terhadap kekerasan seksual. Kendala yang demikian sering terjadi dalam prakteknya.
Cara atau Solusi agar korban mau melaporkan kekerasan rumah tangga yang dialaminya kepada pihak yang berwajib;
Hampir selalu terjadi suatu perbedaan antara perilaku sosial yang terjadi di masyarakat secara nyata dengan perilaku yang dikehendaki oleh Hukum. Dalam kenyataannya, Hukum selalu ketinggalan dengan lajunya perkembangan masyarakat yang telah terbentuk oleh budaya dan agama. Ketika hukum mencoba mengikuti kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahan masyarakat, tetapi yang terjadi adalah terkadang sebaliknya yaitu terjadi suatu benturan antara kepastian dan keadilan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, sedikit mengulas kebelakang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan oleh suami terhadap perempuan dan atau istri adalah sebuah fenomena turun temurun yang kerap terjadi di Indonesia. Fenomena demikian itu sudah berlangsung lama dan seolah-olah sudah demikian adanya, sehingga membentuk pula pola berpikir perempuan atau istri bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami adalah hal yang biasa dan perempuan atau istri hanya dapat menerima kondisi sosio psikologis tersebut atau diam saja.
Akankah kondisi sosio psikologis tersebut berakhir seiring dengan telah diundangkannya UUPKDRT (UU No. 23 Tahun 2004). Undang-Undang ini merupakan terobosan amat penting karena mengubah paradigma masyarakat tentang masalah kekerasan terhadap perempuan yang selama ini masih dianggap sebagai masalah privat atau domistik yang tidak dapat dibawa ke wilayah publik. Oleh karena itu perlu pemahaman yang mendalam terhadap UU itu sendiri baik dari pihak penegak Hukum maupun masyarakat, agar implementasinya maksimal. Maka apabila memandang struktur masyarakat kita, maka akan masih terus terjadi dalam suatu proses pembelajaran dengan membutuhkan waktu yang panjang sesuai dengan kondisi dan jamannya.
Dipandang dari aspek sosiologis, perlu adanya sosialisasi secara komprehensif, dilakukan secara bertahap, serta dilakukan secara damai (tidak konfrontaif). Kemudian diperlukan adanya gerakan sosialisasi melawan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai informasi dini melalui pendidikan, ceramah, penyebaran brosur-brosur yang menampilkan anti kekerasan terhadap perempuan, melalui BP4 bagi yang telah melangsungkan perkawinan, dan sarana komunikasi lainnya.
Satu hal yang terpenting adalah sebaiknya sosialisasi UU PKDRT tidak saja dilakukan kepada kaum ibu atau perempuan, tetapi juga disosialisasikan kepada kaum laki-laki atau bapak secara intensif. Alasannya bahwa oleh karena UU PKDRT tersebut menganut asas Non Diskriminasi, artinya korban kekerasan rumah tangga tidak saja kaum perempuan terkadang juga menimpa kaum laki-laki, walaupun hingga saat ini korban kebanyakan adalah kaum perempuan. Atau sementara ini dapat diketahui bahwa sumber dari kekerasan rumah tangga adalah dari laki-laki atau suami yang tidak dapat mengontrol egonya, emosinya (misalnya), maka suatu kewajaran apabila UUPKDRT tersebut tidak saja disosialisasikan kepada kaum perempuan tetapi juga disosialisasikan kepada kaum laki-laki. Dengan demikian untuk dapat memaksimalkan keberlakuan UUPKDRT sejak dini diusulkan melalui lembaga yang telah tersedia namun keberadaannya kurang dikenal atau diketahui oleh masyarakat luas yaitu melalui BP4 (Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan), bekerja sama dengan instansi-instansi terkait lainnya yaitu Kepolisian dan Pengadilan yang terkoordinasi dengan baik.
Atau juga untuk dapat mewujudkan tujuan dibentuknya UUPKDRT yakni selain melindungi orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, juga agar sebuah keluarga tersebut tetap utuh, saling menghargai dan menghormati, maka apabila terjadi KDRT diharapkan memang tidak serta merta melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib, atau lantas serta merta mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Meskipun itu adalah hak mereka, tetapi mengapa tidak untuk memfungsikan kembali BP4, sebaiknya para suami istri tersebut datang ke BP4 agar diberikan nasehat atau masukan-masukan kepada keduanya yang diahkiri dengan BP4 membuat surat rekomendasi yang ditujukan kepada para penegak hukum guna memprosesnya lebih lanjut, dengan memberikan masukan dan nasehat tersebut paling tidak BP4 telah memerikan kontribusi sebagaimana yang diharapkan dalam UUPKDRT yakni berusaha menciptakan suatu rumah tanggan yang utuh kembali.
Meskipun faktanya Peradilan agama selaku lembaga yang dapat memberikan putusan perceraian terhadap setiap orang yang mengajukan gugatan atau permohonan perceraian dan adanya asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya, tetapi dalam ranah ini menurut saya perlu adanya perlakuan yang tersendiri agar setiap proses perceraian sedikit dipersulit, karena teringat akan isi dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah tetapi khalal untuk dilaksanakan. Nah berangkat dari itu tidak ada salahnya untuk mengoptimalkan kembali tupoksi BP4 agar apa yang tersurat dan tersirat di dalam ayat suci Al-Qur’an dan tujuan UUPKDRT sendiri tersebut terpenuhi, karena tujuan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri adalah ibadah.
Selanjutnya Rekomendasi mana dapat dijadikan bukti oleh bersangkutan untuk dapat melakukan upaya hukum selanjutnya, baik melalui pengadilan maupun ke penyidik. Cara yang demikian ini selain akan dapat mengembalikan keutuhan rumah tangga selaku tujuan dari lahirnya PKDRT, juga akan dapat mengurangi tingkat perceraian di Jawa Barat.
Saya yakin hal ini tidak mudah karena akan merubah sistem dalam proses penanganan perkara khususnya tentang perkara perceraian bagi orang-orang muslim. Namun demikian memang harus adanya keterlibatan dari semua pihak, yakni turut sertanya Departemen Agama melalui KUA yang semata-mata hanya mengeluarkan Akta Perkawinan dan selanjutnya habis perkara, Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan juga Mahkamah Agung untuk dapat menghormati adanya rekomendasi yang dikeluarkan oleh BP4, selain itu juga khusus terhadap kasus KDRT yang pada kenyataannya pada prinsipnya ada yang merupakan delik aduan diperlukan terlebih dahulu adanya mediasi yang dapat dilakukan melalui BP4.
Jadi dengan demikian menurut saya bahwa BP4 adalah dapat dijadikan suatu lembaga mediasi yang akhir-akhir ini banyak menjadi pilihan dalam setiap orang bersengketa, artinya dapat menjadi alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
C. KESIMPULAN
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa KUA melalui BP4 dapat menjadi pintu masuknya sosialisasi UUPKDRT tersebut, dengan harapan selain untuk mencegah adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga juga dapat memberikan pengetahuan khususnya kepada kaum perempuan sehubungan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya dan sikap apa yang harus ia perbuat. Hal ini agar menumbuhkembangkan kemauan dan keberanian para perempuan untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya, karena memang undang-undang melindunginya.
Dengan kembalinya fungsi dan peran BP4 tersebut diharapkan agar permasalahan-permasalahan rumah tangga dapat diselesaikan dengan tanpa berujung keperceraian (Pengadilan) dan atau ke pihak yang berwajib, artinya dapat rukun kembali. Namun demikian apabila mereka (suami istri) yang telah datang ke BP4 untuk meminta nasehat, dan kenyataannya mereka tetap tidak dapat didamaikan, maka bentuk koordinasi antar instasi sebagaimana yang dimaksud di atas BP4 akan mengeluarkan semacam “Surat Keterangan” atau rekomendasi yang menerangkan bahwa mereka telah dinasehati oleh BP4 namun tidak dapat didamaikan, maka direkomendasikan untuk diproses lebih lanjut melalui Pengadilan dengan membawa surat keterangan dari BP4 tersebut. Demikian pula apabila tindak kekerasan tersebut berlanjut ke yang berwajib (Polisi), diharapkan telah membawa surat keterangan BP4 sebagai dasar diprosesnya tindak pidana KDRT tersebut. Atau juga dapat dikatakan suatu model penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Oleh karena itu perlu adanya aturan yang jelas agar model tersebut dapat berlaku serempak. Artinya diperlukan adanya suatu juklak dan juknisnya, agar koordinasi antara KUA, BP4, Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan dapat saling mendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar