Rabu, 30 Juni 2010

assalamualaikum

CEGAH SEJAK DINI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

CEGAH SEJAK DINI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Di susun oleh :
Hj. Ummi Maskanah, SH.,MHum.,MM.
Dosen, Kepala Laboratorium Hukum UNPAS, Advokat
Ketua Bantuan Hukum Perempuan dan anak (BHPA) “DELIMA


Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pasal 28 UUD’45. Oleh karena itu masyarakat perlu menyadari untuk merubah perilaku tradisional antara peran kaum laki-laki maupun peran kaum perempuan baik dalam pergaulan bermasyarakat maupun di dalam keluarga.
Manusia adalah mahluk social artinya manusia itu mempunyai sifat untuk berkumpul dengan sesamanya, sehingga manusia tidak dapat hidup terlepas dari kelompok pergaulannya. Suatu hal yang alamiah apabila dimasyarakat mengenal adanya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Agar pergaulan antara laki-laki dan perempuan tersebut (pacaran) tidak bertentangan baik dengan hokum maupun agama, maka mereka harus melakukan perkawinan, tertunya semua itu atas dasar saling mencintai, artinya membentuk rumah tangga atau keluarga, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G. UUD 1945.
Sudah kita ketahui bersama bahwa yang termasuk ruang lingkup rumah tangga atau keluarga adalah Suami, Istri dan anak. Belakangan ini yang masuk dalam ruang lingkup keluarga tidak saja yang telah disebutkan, tetapi juga termasuk orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan yang disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tidak semua pasangan yang hidup berumah tangga dapat menjalaninya dengan mulus atau baik, disebabkan bebrapa factor yang mempengaruhinya, salah satu factornya adalah lingkungan pergaulan dan segi ekonomi. Tidak sedikit rumah tangga akan hancur ketika pasangan tersebut tidak ada keseimbangan dalam membina rumah tangga diantara keduanya. Misalnya adanya ketimpangan penghargaan terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Hal ini lebih disebabkan karena budaya kita sendiri. Betapa tidak, coba kita renungkan bersama dalam ilustrasi saya berikut ini :
Sebuah rumah tangga yang mempunyai dua orang anak laki-laki dan perempuan. Dari kedua anak tersebut ternyata oleh orang tuanya mendapatkan perlakuan yang berbeda, kebanyakan yang akan diperlakukan lebih adalah anak laki-laki katimbang perempuan, misalnya dalam memperoleh kesempatan kebebasan berbuat dirumah, perempuan tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, berbeda dengan anak laki-laki selalu bebas mengemukakan pendapat, bertindak dan selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan keluarga. Lebih jauh lagi apabila hal tersebut menimpa dalam keluarga yang kurang mampu, dapat pula timbul perbedaan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (banyak kita temui di dalam keluarga pedesaan). Atau menganggap laki-laki lebih tinggi derajatnya ketimbang perempuan. Sehingga anggapan yang umum berkembang dalam masayarakat kita, kelahiran anak pertama laki-laki lebih dinanti ketimbang anak perempuan. Ada juga anggapan bahwa perempuan yang telah menikah itu sepenuhnya menjadi milik laki-laki, jadi mau gimana-gimana juga terserah laki-laki (ketergantungan).

Ilustrasi yang demikian dapat terlihat betapa tidak bahwa tanpa disengaja dalam rumah tangga tersebut telah membentuk diskriminasi diantara anak-anaknya. Dan pengalaman yang demikian akan selalu dibawa ketika mereka dewasa dan berumah tangga kelak. Belum lagi kalau ternyata perlakuan yang tidak seimbang tersebut berlaku juga dalam seluruh kehidupan rumah tangga tersebut, artinya tidak terhadap anaknya saja. Sehingga dengan cara pandang semacam itu, posisi laki-laki dan wanita jadi tidak sejajar. Akibatnya dalam praktek kehidupan, wanita banyak ditempatkan pada tempat yang tidak seimbang.
Salah satu factor itulah yang menyebabkan perempuan mendapat ancaman dari dalam rumahnya sendiri, tempat yang semestinya ia merasa aman dan nyaman tersebut. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu nasib yang tidak dapat dielakkan.
Berawal dari factor itulah, perkembangannya banyak muncul persoalan-persoalan dari akibat ketidak seimbangan atau diskriminasi tersebut, yakni adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang disebut dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Akhir-akhir ini persoalan tersebut apabila diibaratkan jamur dimusim penghujan, pelan-pelan tapi pasti, terbukti banyaknya kasus-kasus rumah tangga yang muncul baik melalui tayangan televisi maupun masmedia Koran. Kasus-kasus tersebut hampir semuanya mengarah kepada kekerasan fisik, dan setelah diamati korbannya kebanyakan adalah perempuan dan atau anak-anak, tetapi bukan berarti kaum laki-laki tidak ada yang menjadi korban. Dari data yang diperoleh di Polda Bandung bagian Renakta tahun 2007 menunjukkan bahwa ada beberapa kasus KDRT yang korbannya adalah kaum laki-laki. Oleh karena itu sebenarnya KDRT tidak saja untuk melindungi kaum perempuan, tetapi lebih kepada perlindungan terhadap gender (perempuan dan laki-laki) atau KDRT tidak mengenal diskriminasi.
Ternyata dalam perkembangannya KDRT telah merambah keberbagai kalangan, artinya jangan anda bayangkan kalau korban KDRT hanya menimpa orang pedesaan dan atau ekonomi lemah saja. KDRT yang terjadi sekarang ini telah banyak dialami oleh beragam golongan. Karena banyak pengamat KDRT mengatakan bahwa KDRT sekarang ini memang tidak mengenal status social, tingkat pendidikan, agama, maupun ras, artinya KDRT dapat terjadi kepada siapa saja, ibu rumah tangga, anak, pembantu, karyawan, eksekutif dan lain-lain. Kemudian berdasarkan hasil penelitian tahun 2003 (sumber LBH Apik) pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dari korban (istri). Pelaku yang lainnya adalah majikan, mantan suami, dan atau pihak ketiga dalam lingkungan keluarga.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Dr. Musdah Mulia (tahun 2002 menjadi staf ahli Menteri Agama) untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan masyarakat awam terhadap kesehatan reproduksi di daerah Jawa Barat, terungkap bahwa mayoritas wanita mengeluh mengalami masalah dengan organ-organ reproduksinya. Ada yang mengalami keputihan yang tidak kunjung sembuh, atau pendarahan yang terus-menerus. Setelah ditanyakan lebih jauh tentang kehidupan berumah tangganya, kebanyakan mengaku hubungan mereka dengan suami tidak harmonis, dibawah tekanan, tidak puas dalam membina rumah tangga, menderita bathin, dan lain sebagainya.
KDRT memang tidak sekedar kekerasan fisik seperti tamparan, pukulan, atau tendangan. Tetapi kekerasan tersebut digolongkan ke dalam 4 golongan yaitu, kekerasan fisik. Psikis, sex, dan penelantaran terhadap keluarga (bisa jadi ekonomi atau yang disebut dengan kekerasan ekonomi). Seorang korban (bisa perempuan atau anak) bisa mengalami semuanya dalam waktu bersamaan, sehingga ada yang cacat bahkan hingga meninggal dunia.
Bila tidak sampai meninggal, biasanya korban menderita depresi, trauma atau merasakan kesakitan yang berkepanjangan dan menjadi cenderung untuk melakukan bunuh diri (banyak terjadi pada anak-anak dewasa ini). Selain itu, kekerasan juga mengakibatkan turunnya kemampuan bekerja, mengurangi kemungkinan berprestasi ditempat kerja, hingga beresiko dipecat misalnya.
Mengapa terjadi demikian, itu lebih disebabkan karena, sebagian besar masyarakat kita kurang kurang ditanamkan hubungan kemanusiaan (saling menghargai dan menghormati). Baik dalam pendidikan formal maupun dalam rumah sendiri (kedua orang tuanya bekerja). Selain itu ada sebagian orang mengatakan itu tergantung pada karakteristik atau sifat indifidu tertentu atau juga keadaan yang cenderung untuk melakukan tindak kekerasan.
Mungkinkah hal tersebut dapat dicegah ? Selama ini, berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh masyarakat yang peduli pada masalah KDRT maupun pemerintah, untuk mengurangi penderitaan korban atau paling tidak KDRT tidak merambat terus. Antara lain yang dilakukan oleh LSM-LSM yang bergerak dibidang perempuan dan juga dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU Penghapusan KDRT.
Pepatah mengatakan, lebih baik mencegah dari pada mengobati. Dalam KDRT hal ini pun sudah seharusnya untuk dilakukan. Dari mana kita harus memulai melakukan pencegahan ?. Secara sederhana tetapi hal ini dapat menjadi suatu pencegahan kekerasan secara dini, yaitu ketika kita pacaran. Apabila selama pacaran (dengan membuka mata dan hati) ada kesan “gejala” adanya kekerasan, meskipun cinta setengah mati, tetap harus peka pada sinyal-sinyal negatif yang dating dari calon pasangan. Bila ada informasi negatif tentang calon jangan menutup mata. Usahakan untuk mencari kebenaran informasi tersebut. Bagaimanapun lebih baik sakit hati sebelum menikah, dari pada menderita sepanjang perkawinannya.
Umumnya wanita sering melupakan hal penting tersebut, karena mungkin terdesak untuk segera menikah, atau bahkan menutup telinga rapat-rapat ketika mendengar informasi negatif tetntang calon pasangan hidupnya dengan mengatakan itu kan masa lalunya sekarang dengan saya baik-baik saja. Padahal sangat sederhana untuk menguji hal tersebut, perhatikan saja selama pacaran ketika pasangan kita mendapatkan masalah atau kegagalan, apa yang akan dilakukannya. Kalau ia mencari kambing hitam dalam meneyelesaikan kegagalannya dan atau dia melampiaskan emosinya dengan memukul atau bertindak anarkhis, itu menunjukkan potensi bahwa sebagai suami nantinya kalau menemui masalah juga akan berbuat demikian.
Begitu pula terhadap pencegahan secara dini yang dilakukan melalui anak-anak atau sejak kecil. Anak-anak mempunyai daya ingat yang kuat, dan bersifat peniru apa yang dilihatnya kemudian cenderung akan dipraktekkan. Nah kalau memori anak-anak kita diisi dengan apa yang dilihat dalam lingkungan kita yang cenderung adanya diskriminasi, tidak saling menghormati dan menghargai antara laki-laki dan perempuan, atau malah tiap hari melihat pertengkaran arang tuanya, misalnya hanya sekedar air kopi yang kurang manis saja bapaknya sudah berkata kasar. Keadaan yang demikian akan dapat mempengaruhi juga terhadap perilaku anak dan kemungkinan besar contoh-contoh tersebut akan dibawa selalu dalam kehidupannya kelak. Dan akan lebih parah lagi kalau anak beranggapan bahwa apa yang dilakukan tersebut sudah benar.


KEKRASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
DAPAT DICEGAH !!!

• ADANYA KETIDAKSEIMBANGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN;
• KURANG MEMAHAMI ATAU TERCIPTANYA HUBUNGAN KEMANUSIAAN YANG HARMONIS
• MENGAPA TERJADI?
A. BUDAYA
B. PENDIDIKAN
C. LINGKUNGAN / PERGAULAN
D. PENGARUH OBAT-OBATAN / MINUMAN KERAS.
• MENYEBABKAN ADANYA TINDAK KEKERASAN SECARA UMUM ATAU KHUSUS (KELUARGA)
ADA 4 KATAGORI KEKERASAN :
A. KEKERASAN FISIK;
B. KEKERASAN SPIKIS;
C. KEKERASAN SEXUAL;
D. KEKERASAN EKONOMI / PENERLANTAR-AN KELUARGA.
• AKIBATNYA al. MENGGANGGU KESEHATAN REPRODUKSI
• MUNGKINKAH DICEGAH ?
SANGAT MUNGKIN UNTUK DICEGAH KALAU KITA PEDULI !!
DAPAT DICEGAH SEJAK DINI DENGAN CARA al. :
A. HATI-HATI MENENTUKAN PASANGAN;
B. MELALUI PENDIDIKAN DASAR ANAK- ANAK;
C. MELALUI LINGKUNGAN KELUARGA;
D. SEGERALAH MELAPOR KEPADA PIHAK YANG BERWAJIB ATAU SEGERALAH MEMINTA BANTUAN HUKUM MELALUI LEMBAGA-LEMBAGA YANG KONSEN TERHADAP PEREMPUAN.














PRIA YANG BERPOTENSI MELAKUKAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

• Cenderung dominan (tidak menghargai prinsip kesetaraan) / egois
• Karena pergaulannya yang keras
• Rasa ingin mengetahui apa yang dikerjakan pasangannya (memeriksa isi SMS, sebentar-sebentar menelepon dll), sehingga menimbulkan ketidak percayaan terhadap pasangannya.
• Pencemburu dan depresi
• Kalau marah atau emosi sering tidak terkontrol (lempar asbak) atau memiliki pemikiran yang tidak rasional.
• Rasa percaya dirinya rendah
• Sering berfikiran negatif
• Manja dan tidak mandiri
• Memiliki pengalaman kekerasan dalam keluarganya yang terdahulu
• Datang dari keluarga yang ayahnya dominan
• Memiliki ketergantungan obet terlarang atau minuman keras

TINDAK PIDANA KORUPSI ₌ KEJAHATAN ?

TINDAK PIDANA KORUPSI ₌ KEJAHATAN ?
(SEBUAH TEROBOSAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

Di susun oleh :
Hj. UMMI MASKANAH, SH., MM., MHum.
Dosen Fakultas Hukum Unpas dan Advokat

Abstrak :
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat , sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa, Romli Atmasasmita menyebutnya dengan istilah extraordonary crimes. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan tersendiri atau secara khusus.
Namun demikian untuk membuktikan perbuatan tindak pidana korupsi di pengadilan tidaklah mudah kalau hanya mengandalkan unsur kejahatan atau pelanggarannya lebih dulu, baru kemudian unsur kerugian keuangan negaranya. Karena tindak pidana yang telah menjadi budaya Indonesia itu, dilakukan secara rapih, terorganisir dan tersistematis dengan baik, sehingga sulit untuk membongkarnya.
Apabila unsur kejahatan atau pelanggaran sebagai suatu perbuatan mewan hukum secara formil tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga dapat membebaskan mereka dari jerat hukum pidana, oleh karena itu banyak perkara korupsi yang diadili di Pengadilan dengan putusan bebas, atau ditingkat penyidik di SP3-kan, dengan alasan belum cukupnya bukti permulaan. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor pada prinsipnya apabila secara nyata (kenyataannya) telah timbul kerugian keuangan negara, maka melalui ketentuan undang-undang ini pula memerintahkan kepada penyidik untuk segera menyerahkan seluruh dokumen (berkas perkara) kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang bersangkutan untuk diajukan gugatan (secara perdata), ayat (2)-nya menyebutkan Putusan bebas dalam tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut secara perdata atas kerugian keuangan negara tersebut. Maksudnya membuat terobosan hukum dalam mempercepat pengembalian aset-aset negara atau kerugian keuangan negara. Selanjutnya Pasal 38 C UU No.20 tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, dengan melakukan gugatan perdata”.
Ada tiga sistem dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang menjadi suatu keistimewaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni pertama penagangan nya dengan cara konvensional, yakni melalui polisi, kejaksaan, dan Pengadilan Negeri. Ke dua penanganan perkara tindak pidana korupsi yang jumlah kerugiannya minimal 1 milyar rupiah, menjadi kewenangan KPK, melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan peranserta masyarakat selaku hakim ad hoc, dan sistem yang ke tiga diselesaikan melalui aspek hukum perdata, termasuk segala sesuatu yang muncul secara keperdataan (Pasal 33, 34, dan 35 UU Pemberantasan Tipikor), gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.
Dengan telah disahkannya RUU Pengadilan Tipikor, maka lembaga peradilan yang akan memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi yang di atas 1 milyar rupiah atau yang dilakukan oleh para aparat negara, bukan lagi di Pengadilan Tipikor tetapi di Pengadilan Negeri dengan hakim karier.

Kata kunci : Korupsi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


A. Latar Belakang
Salah satu cita-cita bangsa Indonsia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum yang berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (vide Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa, bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum (Rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka (Machsstaat). Penjelasan UUD 1945 itulah yang sekarang sedang diuji oleh masyarakat sehubungan dengan maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia ini.
Di tengah upaya pembanguan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan membentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah meninbulkan dampak kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan, diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang sangat hangat untuk dibicarakan, terutama dalam proses penegakan hukum, yakni khususnya mengenai masalah pemberantasan tindak pidana korupsi. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, yakni Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No 20 Tehun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Kata korupsi berasal dari kata bahasa latin, Corruptio atau Corruptus, dalam bahasa Inggris, Corruption ; dan dalam bahasa Belanda, Corruptie, atau Corruptien , yang memberi arti perbuatan korup, penyuapan, kebusukan, keburukan, kebejatan, tak bermoral, penyimpangan dari kebenaran, kata-kata yang menghina atau memfitnah untuk mewujudkan hal yang busuk, buruk, rusak, kebejatan moral karena menerima suap dan lain sebagainya.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat , sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa, Romli Atmasasmita menyebutnya dengan istilah extraordonary crimes. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan tersendiri atau secara khusus.
Berbagai usaha pemberantasan korupsi telah dilakukan, namun belum membuahkan hasil signifikan, karena selain korupsi dilakukan secara diam-diam (sifatnya rahasia atau tertutup), terselubung diantara rutinitas pekerjaan (kedinasan) sehari-hari, dan parahnya korupsi dilakukan dengan melalui berbagai jaringan diantara mereka. Tindak pidana korupsi ini sebenarnya telah ada sejak jaman Penjajahan Belanda hingga sekarang, namun dalam hal pemberantasannya sendiri terkesan adanya tarik ulur karena berbagai kepentingan. Fenomena yang demikian itu menjadikan tindak pidana korupsi menjadi meraja lela, sehingga menjadi suatu budaya pada berbagai level masyarakat. Maka nampak masyarakat memang mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau instansi) dan menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan.
Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan secara konvensional (sebelum adanya KPK) terbukti selalu menghadapi berbagai hambatan. Selain unsur-unsur dalam peraturannya sendiri tidak dapat mengakomodir perbuatan para koruptor, sulitnya membongkar jaringan koruptor yang sudah menjadi suatu system yang terorganisir (terselubung), serta karena tindak pidana korupsi telah pula dikaitkan dengan ranah politik, sehingga penegakanhukumnya memerlukan suatu metode penegakan hukum yang ekstra. Dalam perkembangannya permasalahan korupsi tidak lagi terbatas pada mencuri uang, tetapi dapat menimbulkan tidakan-tindakan hukum yang baru demi penyelamatan dirinya, misalnya pencucian uang (monay laundering).
Kemudian ketidak maksimalan upaya pemberantasan korupsi selama ini juga tidak lepas dari kurangnya dukungan politis terutama dari para penyelenggara negara, baik dari lembaga legislatif, eksekutif maupun judikatif. Tanpa adanya dukungan politik yang kuat serta kesungguhan segenap aparat penyelenggara negara umumnya dan aparat penegak hukum, serta peran aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan maka upaya memberantas korupsi akan sulit dilakukan.
Maka diperlukan adanya suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara maksimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.
Secara konvensional Kejaksaan RI merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Tugas dan kewenangan kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana posisi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, di samping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.
Belakangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara intensif, yakni setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dan konsisten , maka kemudian dikeluarkanlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 43 ayat (1) menyebutkan “bahwa dalam waktu dua tahun sejak berlakunya UU Tipikor, harus dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian telah diwujudkan melalui Undang-Undang 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dipertegas oleh Pasal 2. Keberadaan KPK membuat penanganan kasus-kasus korupsi tidak lagi terpusat di lembaga-lembaga penegak hukum yang konvensional semacam kejaksaan dan kepolisian tetapi juga ditangani oleh lembaga independen yang professional, yakni membentuk Peradilan Tipikor.
Pada waktu sebelum lahirnya KPK, dalam hal ini, Pemberantasan Tindak Pidana masih menggunakan Undang-Undang No. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Undang-Undang Anti Korupsi, terdapat suatu pembatasan unsur yang sangat sulit dalam pembuktiannya (Low Visibility) , yaitu unsur “melakukan kejahatan atau pelanggaran” yang harus dibuktikan di Pengadilan Negeri, sebelum selanjutnya membuktikan unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan” , sehingga mengakibatkan pelaku korupsi kebanyakan lolos/bebas dari tuntutan, karena hakim di Pengadilan Negeri rupanya masih memegang teguh asas legalitas , artinya bahwa karena undang-undang tidak mengaturnya maka perbuatannya tersebut tidak dapat dituntut pidana (tidak terjangkau oleh undang-undang). Ditingkat Penyelidikan dan Penyidikan (Kepolisian) nya pun tidak jarang para pelaku tindak pidana korupsi di SP3 kan, dengan alasan bahwa sulitnya mencari barang bukti yang dijadikan landasan atau dasar seseorang dikatakan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini cenderung disebabkan karena perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para actor korupsi secara rapih, terorganisir dan tersistematis, sehingga sulit terbongkar.
Lain halnya setelah adanya UU KPK, perkara-perkara yang dapat ditangani adalah perkara-perkara di atas 1 milyar. Selanjutnya perkara yang diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK ini akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dibentuknya KPK dan perangkat Pengadilan khusus tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) memberikan harapan baru bagi masyarakat dalam mempercepat proses penanganan dan eksekusi kasus-kasus korupsi besar yang merugikan rakyat dan keuangan negara. Keberhasilan KPK dalam mengusut kasus korupsi tidak terlepas dari kemampuan Pengadilan Tipikor yang memutus secara adil.
Pasal 53 UU KPK menyebutkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Selanjutnya dalam Pasal 54 ayat (2) ditegaskan, untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan yurisdiksinya mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dimulai sejak tahun 2004 hingga saat ini.
Hanya perkara-perkara korupsi tertentu yang dapat diajukan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yakni perkara-perkara yang melibatkan para aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, dan meresahkan masyarakat, yang telah nyata-nyata merugikan keuangan negara paling sedikit satu milyar rupiah, merupakan limpahan dari KPK (vide Pasal 11 ayat (3) UU KPK).
Namun dalam perkembangannya, dengan adanya Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan, bahwa pertama Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945; kedua, menyatakan bahwa Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga (3) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan. Hal ini menjadi persoalan baru terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia atau pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Kemudian timbul suatu pertanyaan akan-kah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indosnesia terhambat begitu saja, karena putusan tersebut? Artinya dasar hukum pemberantasan korupsi kembali goyah.
Alasan pertentangan yang dikemukakan dalam Putusan MK tersebut adalah fakta keberadaan dua sistem peradilan dalam penanganan kasus korupsi, yaitu satu di Pengadilan Tipikor dan satu lagi di Pengadilan Negeri. Dalam putusan MK tersebut memerintahkan kepada Pembentuk UU dalam waktu tiga tahun harus membuat UU Pengadilan Khusus Tipikor sebagai dasar hukumnya sendiri.
Dalam perkembangannya, pergumulan wacana memperebutkan dominasi atas pemberantasan korupsi menghangat tatkala Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tipikor yang diajukan pemerintah ternyata secara tidak langsung bukannya memberi dasar hukum, tetapi justru membubarkan keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor, dan menggantikannya dengan menunjuk kembali Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili kasus-kasus korupsi di Indonesia, yang notabene sebagian besar masyarakat, hingga kini masih tidak percaya dan meragukan kredibilitas Pengadilan Negeri itu sendiri.
Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus antikorupsi yang memiliki dua kekhususan, yaitu majelis hakimnya mengandung unsur masyarakat (hakim ad hoc) serta hanya memeriksa berkas perkara yang dilimpahkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga saat ini, baru ada satu Pengadilan Tipikor yang memiliki kewenangan hukum atas seluruh wilayah Indonesia dengan 21 hakim Tipikor, yaitu Pengadilan Tipikor yang berada dilingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keberadaan Pengadilan Tipikor masih sangat dibutuhkan, karena selain independen juga terdapatnya control masyarakat dalam pemberian putusannya yakni melalui hakim ad hoc, serta diperiksa oleh hakim-hakim yang konsen dibidang korupsi. Dalam tiap persidangan, hakim di Pengadilan Tipikor berjumlah lima orang dengan komposisi tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier. Komposisi tersebut tidak berubah jika suatu perkara korupsi diperiksa hingga tingkat banding, bahkan kasasi.
Dari uraian tersebut membawa dampak terhadap penanganan kasus Tipikor, yakni adanya kemunduran system peradilan di Indonesia, yang tadinya merupakan suatu pengadilan khusus menjadi pengadilan yang bersifat umum. Namun demikian hingga saat ini penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi masih tetap berjalan dengan mendasarkan kepada perundang-undangan yang ada, meskipun adanya putusan MK, karena adanya tenggang waktu yang diberikan oleh MK dalam putusannya. Untuk memenuhi perintah dalam Putusan tersebut, maka dipenghujung masa jabatan DPR periode 2004-2009 mensahkan RUU Pemberantasan Tipikor yang telah lama diperdebatkan.

B. Pembahasan

1. Dualisme Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan)
Hukum Pidana yang hingga kini dipergunakan dan diberlakukan di Indonesia merupakan peninggalan dari masa penjajahan Belanda yang berabad-abad lamanya berkuasa di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disahkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda pada tahun 1886, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang diberlakukan pada tahun 1918 dan sejak tahun 1946, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ini telah diundangkan melalui Undang-undang No.1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana yang diberlakukan di Indonesia. Barulah melalui Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tepatnya tanggal 29 September 1958 dinyatakan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga sejak itu berlaku Kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (disingkat KUHP).
Dalam perkembangannya KUHP belum cukup mengatur segala perbuatan yang sangat koruptif sifatnya, sehingga peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perbuatan tersebut diletakkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang khusus dan keberadaannya tersendiri serta terpisah dari KUHP.
Salah satu tujuan diadakan pengaturan yang bersifat khusus itu sebenarnya untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, sehingga akan dapat saling melengkapi. Ketentuan yang terdapat dalam KUHP dianggap belum cukup dijadikan landasan hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi secara tuntas, cepat dan efisian” . Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah) untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Aturan tentang pemberantasan korupsi justru pertama kali muncul melalui peraturan penguasa perang dari kepala staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1950 No. Prt/Perpu/013/1958 dan dari kepala staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1950 No. Prt/Z.1/1/7. pada tanggal 9 juni 1960, kedua peraturan dari penguasa perang tersebut dinyatakan sebagai peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan No. 24 Tahun 1960 mengenai Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 1960 memuat tentang unsur-unsur dari tindak pidana korupsi antara lain “unsur Kejahatan atau pelanggaran, barulah unsur ketiganya “merugikan keuangan negara”.
Menurut Muladi, perbuatan tindak pidana korupsi, adalah Law visibility, yaitu perbuatan itu sulit terlihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan suatu keahlian intuisi, profesional dan sistem organisasi yang kompleks dan karenanya untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi itu sendiri sangat sulit. Sulitnya membuktikan unsur “melakukan kejahatan atau pelanggaran” terbukti dengan banyaknya para koruptor yang telah diproses kemudian di berikan SP3 artinya lolos dari jerat hukum.
Jadi, untuk memenuhi unsur kejahatan atau pelanggaran harus terbukti dulu adanya perbuatan korupsi yang dilakukannya itu, baru kemudian memenuhi unsur berikutnya, yaitu unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara. Namun pada kenyataannya unsur “melakukan kejahatan atau pelanggaran” sulit dibuktikan di pengadilan.
Kesulitan untuk membuktikan unsur “melakukan kejahatan atau pelanggaran” tersebut dikarenakan unsur itu hanya mengandung pengertian sifat melawan hukum dalam artian sempit (bersifat formil) saja, sehingga hanya sekedar membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara normative. Hal ini disebabkan adanya asas legalitas (principle of legality) dalam sistem hukum pidana.
Penerapan dan pelaksanaan Undang-Undang No.24 Prp Tahun 1960 ternyata belum mencapai hasil seperti yang diharapkan dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga 11 (sebelas) tahun kemudian diganti dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 1 butir 1 huruf (a) dari Undang-Undang No. 3 tahun 1971 bahwa: ”dihukum karena Tindak Pidana Korupsi: barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Menurut Komariah, “Suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan, atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.
Unsur “melawan hukum” dari Pasal 1 butir 1 huruf (a) dari Undang-Undang No. 3 tahun 1971, memuat pengertian yang luas, artinya sebagai pengganti unsur ”melakukan kejahatan atau pelanggaran” dari Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960, maka unsur “melawan hukum” dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 meliputi pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Oleh karena itu seharusnya para penegak hukum harus dapat membuat terobosan atau penemuan hukum guna tercapainya cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Tap.MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,

2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturannya
Agar seseorang dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka perbuatannya itu harus dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan melawan hukum secara materiil atau perbuatan yang tercela, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil. Jadi dapat dijadikan dasar penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para actor koruptor tersebut dengan menggunakan unsur perbuatan mewalan hukum secara materiil.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu memang sudah tepat apabila dalam penanganan kasus korupsi dalam system peradilan di Indonesia ini dibuat atau dibentuk lembaga tersendiri, yaitu Peradilan Tipikor, bukan malah dikembalikan lagi ke Pengadilan Negeri, sebagaimana yang dikehdaki oleh RUU yang baru lalu disahkan tersebut. Karena bagaimana mungkin Peradilan Umum yang hingga saat sekarang ini dapat dikatakan “belum bersih dan berwibawa”, yang menurut Satjipto Rahardjo, bahwa Pengadilan bukan lagi merupakan “Arena Keadilan”, melainkan menjadi “arena para gladiator hukum”, seperti hakim, jaksa, termasuk juga para advokat , akan dapat menumpas atau memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah mengakar dan menggurita , yang butuh penanganan secara khusus dan perhatian khusus pula.
Maka dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi tonggak keseriusan pemerintah dalam menangani tindak pidana korupsi di Indonesia, yang dinilai pula oleh masyarakat suatu proses atau cara yang efektif, dan cukup membuat gerah para koruptor. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK berwenang menindak siapa pun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis. Oleh karena itu penanganan Kasus Korupsi di Indonesia hingga saat ini masih terasa belum maksimal, meskipun upaya penegak hukum melalui Komisi Pemberantasan Korupsi telah membuat terobosan-terobosan jitu yang tujuannya untuk menggali, mengorek, mengungkap dan selanjutnya memberantas koruptor-koruptor yang membuat jaringan (menggurita) yang terorganisir dan terselubung tersebut hingga tuntas.
Kendala lainnya terlihat adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial review oleh pelaku korupsi yang salah satunya judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum (lex certa) yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya”.

3. Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
a. Pendekatan secara Hukum Pidana (Penal)

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, KPK diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU KPK yang menyebutkan “KPK mempunyai tugas antara lain:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”.

Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) menyebutkan “Dlam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
i. meminta bantuan kepolisian untuk melakukan penangkapan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Dengan kekuatan kedua pasal tersebut di atas, para anggota KPK dapat melakukan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia ini, yang tentu saja penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara paling sedikit 1 milyar rupiah (Pasal 11 huruf c UUKPK) tersebut tidak terlepas dari aturan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor (UU Tipikor).
Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) UU KPK, Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana di maksud pada ayat (1), KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan; Ayat (3) nya menyebutkan dalam tenggang waktu 14 hari KPK dapat menganbil alih penyidikan dan penuntutan, maka seluruh dokumen dan berkas yang berada dikepolisian dan kejaksaan wajib diserahkan kepada KPK, dengan alasan (Pasal 9) bahwa adanya tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti, prosesnya berlarut-larut tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena adanya tujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguh nya atau malah yang menanganinya sendiri yang melakukan korupsi, atau adanya interfensi dari pihak eksekutif, yudikatif atau legislative.
Melihat beberapa pasal dalam UUKPK tersebut di atas, maka untuk tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara di bawah nilai uang 1 milyar rupiah, penanganannya tetap menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang diteruskan ke pengadilan sebagai mana diatur dalam Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor, artinya dilakukan berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP) yang berlaku, kecuali ditemukan tindak pidana yang sulit pembuktiannya (misalnya kasus BLBI), maka dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Di dalam UU No 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi diberbolehkan untuk menggunakan hasil rekaman, sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 26 A). Selain itu, Pasal 26 A UU tersebut memberikan perluasan terhadap bukti petunjuk tersebut, termasuk alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Keunikan yang lain dari UU Pemberantasan Tipikor ini juga terletak pada Pasal 32 ayat (1) yang mengatakan, bahwa satu atau dua unsur tindak pidana yang dikatakan tidak cukup bukti, sedangkan secara nyata (kenyataannya) telah ada kerugian keuangan negara, maka menurut pasal tersebut memerintahkan kepada penyidik untuk segera menyerahkan seluruh dokumen (berkas perkara) kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang bersangkutan untuk diajukan gugatan (secara perdata), kemudian ayat (2)-nya menyebutkan Putusan bebas dalam tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut secara perdata atas kerugian keuangan negara. Oleh karenanya, pemberantasan tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan melalui aspek perdata berdasarkan Pasal 33, 34, dan Pasal 35. Maksud dan tujuan pembentuk undang-undang membuat terobosan hukum ini, sebenarnya sebagai upaya hukum untuk dapat segera mengembalikan aset-aset negara atau kerugian keuangan negara yang telah dikorup oleh mereka. Dalam artian bahwa apabila para koruptor telah diputus bebas oleh hakim dalam perkara pidana, maka bukan lantas ia bebas begitu saja, tetapi negara masih mempunyai hak untuk menuntut kepada-nya dengan melalui aspek perdata yaitu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, diwakili oleh Jaksa selaku Pengacara Negara. Dalam hal ini berlaku pula terhadap akibat hukum yang ditimbulkan secara perada (Pasal 33, 34, dan Pasal 35).
Kemudian Pasal 37 nya mengatur tentang hak terdakwa untuk melakukan pembuktian, yakni ia berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, dalam hal ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan itu dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya. Inilah yang dimaksud oleh para praktisi dan para pakar hukum, dengan istilah pembuktian terbalik. Di dalam bagian Penjelasan Umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Oleh karena tindak pidana korupsi ini merupakan extraordinary crimes, maka penyelesaiannya pun dilakukan secara tersendiri pula.
Seperti halnya penanganan perkara pidana pada umumnya, tindak pidana korupsi ini merupakan suatu kejahatan, maka Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam menangani kasus Tipikor tentunya didahului dengan adanya laporan dari masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi, kecuali bagi mereka yang tertangkap tangan, misalnya suap, gratifikasi dan sejenisnya. Oleh karena tindak pidana korupsi di Indonesia ini sebagaimana dikemukakan di atas (menggurita, tertutup, dan bersifat rahasia) maka penanganan perkara yang dimulai dari pengungkapan, penyelidikan, penyidikan-nya pun tidak mudah, maka dari itu KPK diberikan kewenangan sebagaimana yang teruang dalam Pasal 6 dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UUKPK , kemudian proses pemeriksaan dan mengadili perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

b. Pendekatan secara hukum Perdata (Non Penal)

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi, proses perdata menganut sistem pembuktian formil.
Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, maka beban pembuktian ada pada JPN atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Kecuali apabila pihak tergugat membantah, maka ia wajib membuktikan bantahannya tersebut.
Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain:
a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka terdakwa atau terpidana.
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut tidak mudah. Karena apabila dikaitkan dengan pasal 32, 33 dan 34 UU No.31 tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”. Kemudian Penjelasan Pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik”.
Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim yang mempunyai hak untuk menyatakan suatu perkara terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim (hanya sebagai saksi ahkli). Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah dan karenanya mengikat. Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima.
Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas, mungkin yang dimaksud instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut, penggugat atau tergugat atau pengadilan?
Penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) harus dapat membuktikan bahwa tergugat (tersangka, terdakwa, atau terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi. Tetapi kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah disita), maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya. Kemudian akan muncul persoalan lagi ketika ternyata hasil korupsi telah di atas namakan orang lain.
Pasal 38 C UU No.20 tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, dan negara dapat melakukan gugatan perdata”. Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.
Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga (unpredictable)

C. PENUTUP
Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan dan KPK sebagai organisasi kenegaraan (birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial. Pentingnya membangun kembali integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum merupakan pekerjaan pemerintah yang tidak dapat ditawar jika ingin memberantas korupsi secara efektif dan bebas dari praktek-praktek mafia peradilan. Kesatuan peran dan misi dalam menegakkan supremasi hukum dari aparatur penegak hukum seperti hakim, kepolisian, kejaksaan dan KPK serta lembaga pemasyarakatan (Integrated Criminal Justice System) dituntut selalu menjunjung nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam menjalankan peran masing-masing. Penegakan hukum secara obyektif dan memperlakukan setiap orang secara sama kedudukannya di mata hukum (Equality Before The Law) harus dijunjung tinggi oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, KPK, dan Advokat).
Lemahnya integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum di Indonesia juga menjadi hambatan dalam mengikis habis tindak pidana korupsi. Selain itu, tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih. Lambannya penyelesaian kasus korupsi dan maraknya praktek kejahatan peradilan atau yang biasa disebut dengan mafia peradilan dalam mengungkap perkara korupsi menjadi hambatan bagi tegaknya supremasi hukum.
Daftar Pusataka



Andi Hamzah, 1999, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cetakan pertama, Sinar Grafia, Jakarta.

Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana Korupsi, CV Diedit Media, Jakarta ,

Muladi dan barda Nawawi, SH, yang mengutip pendapat Don C. Gibbson, tipologi kejahatan dengan karakteristik “low visibility” yang mencakup pelbagai dimensi lapangan kerja (notaris, wartawan, pengacara dan lain-lain
Suhadibroto, http://www.legalitas.org/?q=catagory/katagori-artikel/artikel-hukum-pidana

Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta

http://infohukum.co.cc/perbuatan-melawan-hukum diangkat pada tanggal 18 tahun 2009

Wirjono Prodjodikoro (a), 1986, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia, Edisi kedua, Eresco, Bandung,

Wijiwastito S., Kamus Umum Bahasa Belanda Indonesia. PT Ichtisar Baru, Jakarta,
KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) SEBAGAI PINTU MASUK MENSOSIALISASIKAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Di susun oleh :
Hj. Ummi Maskanah, SH.,MHum.,MM.
Dosen, Kepala Laboratorium Hukum UNPAS, Advokat
Ketua Bantuan Hukum Perempuan dan anak (BHPA) “DELIMA”

A. PENDAHULUAN

Asas Usaha Bersama dan asas Kesadaran Hukum sebagaimana tertuang dalam GBHN merupakan penjabaran dari pernyataan bahwa negara kita adalah Negara Hukum dan negara yang berasaskan Kekeluargaan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesadaran Hukum dapat dilakukan dengan usaha bersama dan kekeluargaan, artinya dapat dimulai dari lingkungan terkecil kita yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak baru kemudian dalam komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui kegiatan sosialisasi-sosialisasi peraturan perundang-undangan secara berkesinambungan. Kegiatan Pembinaan tersebut dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan di masyarakat maupun instansi. Kegiatan ini sebenarnya cenderung akan dapat membekali dirinya sendiri apabila suatu saat berhadapan dengan Hukum.
Sangat strategis apabila kesadaran terhadap Hukum tersebut dimulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga tadi. Sebenarnya kalau kita kaji lebih seksama bahwa cikal bakal pembentukan kesadaran Hukum adalah bagaimana sebenarnya kita menanamkan perilaku, moral, etika, dan perlakuan terhadap anggota keluarga tadi, sehingga akan terbentuk atau terpola suatu pergaulan hidup yang saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lain sejak dini. Oleh karena itu ketika mereka melangkah keluar (terjun di masyarakat) pola-pola yang ia dapatkan di keluarga yang saling menghormati dan menghargai tadi (missal) akan diterapkan pula dalam pergaulan di masyarakat.
Terlebih lagi apabila kita melihat fenomena perubahan masyarakat saat ini yang mengarah kepada masyarakat modern, yang konon kabarnya berkiblat kebarat-baratan, sehingga terkesan akan membawa serta lunturnya ciri khas masyarakat Indonesia yakni kekeluargaan, belum lagi akibat berkembangnya perekonomian dunia yang sangat mempengaruhi seluruh kehidupan lapisan masyarakat negara berkembang seperti Indonesia, yang membawa dampak terhadap terganggunya keharmonisan keluarga atau rumah tangga yang dapat mengakibatkan timbulnya tindakan kekerasan yang dapat merugikan pihak lain (kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak). Meskipun permasalahan keluarga merupakan masalah klasik dan yang pernah terjadi di hampir seluruh kehidupan keluarga baik di sector rumah tangga (domistik) maupun publik.
Dalam menyikapi hal tersebut ternyata pemerintah pun telah menyiapkan aturan yang dapat kita lihat bersama yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Trafiking dan lain sebagainya.
Lahirnya UUPKDRT perlu kita sambut dengan gembira, agar kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari, dan keharmonisan dalam rumah tangga tetap terjaga. Oleh karenanya perlu disikapi bahwa hingga saat ini UUPKDRT tersebut selain Uunya relatif masih baru, sehingga belum banyak masyarakat yang memahami tentang UU tersebut, maka implementasinya pun belum maksimal dan belum mendasar.
Namun demikian perlu juga diingat bahwa dengan berlakunya UUPKDRT tersebut ada yang pro dan ada yang kontra, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa masalah keluarga adalah identik dengan aib keluarga, belum lagi banyaknya kritikan-kritikan dari pemuka agama terhadap UU tersebut. Maka dari itu agar upaya pemerintah untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan dalam keluarga tersebut tidak sia-sia, artinya maksimal (menciptakan kepastian Hukum), diperlukan adanya upaya untuk mensosialisasikan UU tersebut kepada masyarakat luas.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 telah ditentukan bahwa salah satu kebijakan Pembangunan Hukum Nasional pada intinya ialah “untuk meningkatkan budaya Hukum dapat melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan dst…”, maka diperlukan adanya sinergi antara aparatur negara dengan elemen masyarakat yaitu dapat diwujudkan dengan kegiatan KUA melalui BP4, yakni ketika seseorang hendak mendaftarkan perkawinannya, terlebih dahulu diberikan masukan dan atau nasehat tentang apa yang menjadi hak dan kewjiban serta larangan-larangan apa sajakah yang dapat mengganggu kelangsungan hidup rumah tangga. Hal itu dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum atau penerangan langsung terhadap calon-calon mempelai tentang apa yang telah dibicarakan di atas. Peran BP4-pun juga akan berfungsi kembali ketika suami, istri mempunyai persoalan dalam runah tangganya yang diperslakan dating ke BP4 guna mendapatkan penjelasan tentang persoalannya dan selakigus BP4 juga dapat mencarikan solusi apakah yang dapt ditempuh oleh keduanya, karena salah satu tujan UUPKDRT adalah Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dari penyuluhan Hukum tentang KDRT melalui kegiatan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum tersebut paling tidak bertujuan untuk menjadikan masyarakat dapat memahami tentang apa itu KDRT, sehingga setiap warga menyadari akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaannya dapat berupa suatu pertemuan dengan cara Sambungrasa.

B. PEMBAHASAN
Dalam memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentunya yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah pemahaman tentang apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam arti yang sebenarnya (arti yang dimaksud dalam UUPKDRT). Berikut ini kami mencoba memaparkan pengertian tersebut.
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkup rumah tangga.

Ruang Lingkup PKDRT meliputi :
a. Suami, Istri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Asas dan tujuannya adalah :
a. Penghormatan Hak Asasi Manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Non-Diskriminasi, dan
d. Perlindungan korban;

Tujuannya adalah :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

(Agar pemaparannya akan lebih menarik dan dapat mudah dipahami, kegiatan sambung rasa tersebut dapat mempergunakan media gambar-gambar yang berwarna yang dibagikan kepada peserta sambungrasa, dan mereka diminta untuk membuat suatu penjelasan dari gambar-gambar tersebut serta sekaligus diminta komentarnya dan penyelesaiannya tentang seandainya hal tersebut terjadi dalam lingkungan keluarganya ) yaitu dalam bentuk simulasi

Setelah itu barulah akan dijelaskan lebih lanjut tentang keseluruhannya.

Urusan rumah tangga semula dianggap sebagai urusan intern di mana orang lain tidak berhak ikut campur, namun dengan lahirnya UU PKDRT tidak demikian adanya artinya ada pihak lain yang turut campur “Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memeberikan perlindungan darurat, dan membantu proses pemajuan permohonan penetapan perlindungan”.
Kita jelaskan pula tentang Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan yang terselubung atau tersembunyi dan merupakan suatu fenomena gunung es, artinya suatu ketika akan meleleh bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran diri bagi kaum wanita untuk dilindungi oleh Hukum dan atau merasa aman dihadapan siapa pun. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Dalam kenyataannya tindak KDRT yang terlihat dipermukaan hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan yang belum muncul dipermukaan, atau masalah KDRT yang dilaporkan atau fakta yang teridentifikasi hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan yang ada. Hal ini dikarenakan adanya beberapa factor penyebab antara lain :
a. Korban menganggap masalah itu adalah masalah intern suami istri, sehingga tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.
b. Korban sendiri merasa malu atau akan menjadi aib keluarga, karena sebagian perempuan menganggap apabila membuka kejelekan suami dimuka umum maka akan menjadi aib keluarga, sehingga akan pula mencemarkan nama baik keluarga.
c. Korban merasa takut kalau melapor kePolisi, kemudian kasusnya diproses, harus mengeluarkan uang banyak untuk membiayai proses tersebut, atau malah sebaliknya setelah diproses ia akan kehilangan nafkah baik untuk dirinya maupun untuk anak-anaknya.
d. Korban beranggapan bahwa kasus KDRT tidak bisa diselesaikan melalui pidana, dan pelaku belum tentu dapat dihukum dengan UUPKDRT, karena sulitnya mencari bukti-bukti khususnya tentang kekerasan terhadap psikis, sex dan penelantaran ekonomi.
e. Korban juga beranggapan bahwa dari sekian banyak kasus KDRT yang sampai peradilan dan hasilnya hanya sedikit yang dapat memuaskan pihak korban, sehingga dengan demikian yang diperoleh bukan keadilan dan perlindungan terhadap dirinya tetapi malah sebaliknya yaitu semakin terluka.
f. Korban kuatir akan adanya pembalasan dari pelaku apabila tindakan kekerasannya dilaporkan kepada yang berwajib.

Factor-faktor keengganan tersebut biasanya juga didukung oleh factor budaya, factor struktur dominasi ekonomi, dan factor agama.
Menjadi suatu kendala juga, seandainya korban mau melapor pun, belum tentu pihak yang berwajib mau mempergunakan UUPKDRT, karena telah dikemukakan di atas bahwa khususnya dalam hal ketentuan alat bukti yang kurang jelas, sehingga akan lebih aman apabila pelaku atau tersangka dikenakan KUHP. Terlebih lagi sulit untuk membuktikan terhadap kekerasan seksual. Kendala yang demikian sering terjadi dalam prakteknya.

Cara atau Solusi agar korban mau melaporkan kekerasan rumah tangga yang dialaminya kepada pihak yang berwajib;
Hampir selalu terjadi suatu perbedaan antara perilaku sosial yang terjadi di masyarakat secara nyata dengan perilaku yang dikehendaki oleh Hukum. Dalam kenyataannya, Hukum selalu ketinggalan dengan lajunya perkembangan masyarakat yang telah terbentuk oleh budaya dan agama. Ketika hukum mencoba mengikuti kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahan masyarakat, tetapi yang terjadi adalah terkadang sebaliknya yaitu terjadi suatu benturan antara kepastian dan keadilan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, sedikit mengulas kebelakang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan oleh suami terhadap perempuan dan atau istri adalah sebuah fenomena turun temurun yang kerap terjadi di Indonesia. Fenomena demikian itu sudah berlangsung lama dan seolah-olah sudah demikian adanya, sehingga membentuk pula pola berpikir perempuan atau istri bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami adalah hal yang biasa dan perempuan atau istri hanya dapat menerima kondisi sosio psikologis tersebut atau diam saja.
Akankah kondisi sosio psikologis tersebut berakhir seiring dengan telah diundangkannya UUPKDRT (UU No. 23 Tahun 2004). Undang-Undang ini merupakan terobosan amat penting karena mengubah paradigma masyarakat tentang masalah kekerasan terhadap perempuan yang selama ini masih dianggap sebagai masalah privat atau domistik yang tidak dapat dibawa ke wilayah publik. Oleh karena itu perlu pemahaman yang mendalam terhadap UU itu sendiri baik dari pihak penegak Hukum maupun masyarakat, agar implementasinya maksimal. Maka apabila memandang struktur masyarakat kita, maka akan masih terus terjadi dalam suatu proses pembelajaran dengan membutuhkan waktu yang panjang sesuai dengan kondisi dan jamannya.
Dipandang dari aspek sosiologis, perlu adanya sosialisasi secara komprehensif, dilakukan secara bertahap, serta dilakukan secara damai (tidak konfrontaif). Kemudian diperlukan adanya gerakan sosialisasi melawan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai informasi dini melalui pendidikan, ceramah, penyebaran brosur-brosur yang menampilkan anti kekerasan terhadap perempuan, melalui BP4 bagi yang telah melangsungkan perkawinan, dan sarana komunikasi lainnya.
Satu hal yang terpenting adalah sebaiknya sosialisasi UU PKDRT tidak saja dilakukan kepada kaum ibu atau perempuan, tetapi juga disosialisasikan kepada kaum laki-laki atau bapak secara intensif. Alasannya bahwa oleh karena UU PKDRT tersebut menganut asas Non Diskriminasi, artinya korban kekerasan rumah tangga tidak saja kaum perempuan terkadang juga menimpa kaum laki-laki, walaupun hingga saat ini korban kebanyakan adalah kaum perempuan. Atau sementara ini dapat diketahui bahwa sumber dari kekerasan rumah tangga adalah dari laki-laki atau suami yang tidak dapat mengontrol egonya, emosinya (misalnya), maka suatu kewajaran apabila UUPKDRT tersebut tidak saja disosialisasikan kepada kaum perempuan tetapi juga disosialisasikan kepada kaum laki-laki. Dengan demikian untuk dapat memaksimalkan keberlakuan UUPKDRT sejak dini diusulkan melalui lembaga yang telah tersedia namun keberadaannya kurang dikenal atau diketahui oleh masyarakat luas yaitu melalui BP4 (Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan), bekerja sama dengan instansi-instansi terkait lainnya yaitu Kepolisian dan Pengadilan yang terkoordinasi dengan baik.
Atau juga untuk dapat mewujudkan tujuan dibentuknya UUPKDRT yakni selain melindungi orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, juga agar sebuah keluarga tersebut tetap utuh, saling menghargai dan menghormati, maka apabila terjadi KDRT diharapkan memang tidak serta merta melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib, atau lantas serta merta mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Meskipun itu adalah hak mereka, tetapi mengapa tidak untuk memfungsikan kembali BP4, sebaiknya para suami istri tersebut datang ke BP4 agar diberikan nasehat atau masukan-masukan kepada keduanya yang diahkiri dengan BP4 membuat surat rekomendasi yang ditujukan kepada para penegak hukum guna memprosesnya lebih lanjut, dengan memberikan masukan dan nasehat tersebut paling tidak BP4 telah memerikan kontribusi sebagaimana yang diharapkan dalam UUPKDRT yakni berusaha menciptakan suatu rumah tanggan yang utuh kembali.
Meskipun faktanya Peradilan agama selaku lembaga yang dapat memberikan putusan perceraian terhadap setiap orang yang mengajukan gugatan atau permohonan perceraian dan adanya asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya, tetapi dalam ranah ini menurut saya perlu adanya perlakuan yang tersendiri agar setiap proses perceraian sedikit dipersulit, karena teringat akan isi dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah tetapi khalal untuk dilaksanakan. Nah berangkat dari itu tidak ada salahnya untuk mengoptimalkan kembali tupoksi BP4 agar apa yang tersurat dan tersirat di dalam ayat suci Al-Qur’an dan tujuan UUPKDRT sendiri tersebut terpenuhi, karena tujuan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri adalah ibadah.
Selanjutnya Rekomendasi mana dapat dijadikan bukti oleh bersangkutan untuk dapat melakukan upaya hukum selanjutnya, baik melalui pengadilan maupun ke penyidik. Cara yang demikian ini selain akan dapat mengembalikan keutuhan rumah tangga selaku tujuan dari lahirnya PKDRT, juga akan dapat mengurangi tingkat perceraian di Jawa Barat.
Saya yakin hal ini tidak mudah karena akan merubah sistem dalam proses penanganan perkara khususnya tentang perkara perceraian bagi orang-orang muslim. Namun demikian memang harus adanya keterlibatan dari semua pihak, yakni turut sertanya Departemen Agama melalui KUA yang semata-mata hanya mengeluarkan Akta Perkawinan dan selanjutnya habis perkara, Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan juga Mahkamah Agung untuk dapat menghormati adanya rekomendasi yang dikeluarkan oleh BP4, selain itu juga khusus terhadap kasus KDRT yang pada kenyataannya pada prinsipnya ada yang merupakan delik aduan diperlukan terlebih dahulu adanya mediasi yang dapat dilakukan melalui BP4.
Jadi dengan demikian menurut saya bahwa BP4 adalah dapat dijadikan suatu lembaga mediasi yang akhir-akhir ini banyak menjadi pilihan dalam setiap orang bersengketa, artinya dapat menjadi alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

C. KESIMPULAN
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa KUA melalui BP4 dapat menjadi pintu masuknya sosialisasi UUPKDRT tersebut, dengan harapan selain untuk mencegah adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga juga dapat memberikan pengetahuan khususnya kepada kaum perempuan sehubungan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya dan sikap apa yang harus ia perbuat. Hal ini agar menumbuhkembangkan kemauan dan keberanian para perempuan untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya, karena memang undang-undang melindunginya.
Dengan kembalinya fungsi dan peran BP4 tersebut diharapkan agar permasalahan-permasalahan rumah tangga dapat diselesaikan dengan tanpa berujung keperceraian (Pengadilan) dan atau ke pihak yang berwajib, artinya dapat rukun kembali. Namun demikian apabila mereka (suami istri) yang telah datang ke BP4 untuk meminta nasehat, dan kenyataannya mereka tetap tidak dapat didamaikan, maka bentuk koordinasi antar instasi sebagaimana yang dimaksud di atas BP4 akan mengeluarkan semacam “Surat Keterangan” atau rekomendasi yang menerangkan bahwa mereka telah dinasehati oleh BP4 namun tidak dapat didamaikan, maka direkomendasikan untuk diproses lebih lanjut melalui Pengadilan dengan membawa surat keterangan dari BP4 tersebut. Demikian pula apabila tindak kekerasan tersebut berlanjut ke yang berwajib (Polisi), diharapkan telah membawa surat keterangan BP4 sebagai dasar diprosesnya tindak pidana KDRT tersebut. Atau juga dapat dikatakan suatu model penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Oleh karena itu perlu adanya aturan yang jelas agar model tersebut dapat berlaku serempak. Artinya diperlukan adanya suatu juklak dan juknisnya, agar koordinasi antara KUA, BP4, Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan dapat saling mendukung.