Rabu, 30 Juni 2010

CEGAH SEJAK DINI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

CEGAH SEJAK DINI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Di susun oleh :
Hj. Ummi Maskanah, SH.,MHum.,MM.
Dosen, Kepala Laboratorium Hukum UNPAS, Advokat
Ketua Bantuan Hukum Perempuan dan anak (BHPA) “DELIMA


Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pasal 28 UUD’45. Oleh karena itu masyarakat perlu menyadari untuk merubah perilaku tradisional antara peran kaum laki-laki maupun peran kaum perempuan baik dalam pergaulan bermasyarakat maupun di dalam keluarga.
Manusia adalah mahluk social artinya manusia itu mempunyai sifat untuk berkumpul dengan sesamanya, sehingga manusia tidak dapat hidup terlepas dari kelompok pergaulannya. Suatu hal yang alamiah apabila dimasyarakat mengenal adanya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Agar pergaulan antara laki-laki dan perempuan tersebut (pacaran) tidak bertentangan baik dengan hokum maupun agama, maka mereka harus melakukan perkawinan, tertunya semua itu atas dasar saling mencintai, artinya membentuk rumah tangga atau keluarga, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G. UUD 1945.
Sudah kita ketahui bersama bahwa yang termasuk ruang lingkup rumah tangga atau keluarga adalah Suami, Istri dan anak. Belakangan ini yang masuk dalam ruang lingkup keluarga tidak saja yang telah disebutkan, tetapi juga termasuk orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan yang disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tidak semua pasangan yang hidup berumah tangga dapat menjalaninya dengan mulus atau baik, disebabkan bebrapa factor yang mempengaruhinya, salah satu factornya adalah lingkungan pergaulan dan segi ekonomi. Tidak sedikit rumah tangga akan hancur ketika pasangan tersebut tidak ada keseimbangan dalam membina rumah tangga diantara keduanya. Misalnya adanya ketimpangan penghargaan terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Hal ini lebih disebabkan karena budaya kita sendiri. Betapa tidak, coba kita renungkan bersama dalam ilustrasi saya berikut ini :
Sebuah rumah tangga yang mempunyai dua orang anak laki-laki dan perempuan. Dari kedua anak tersebut ternyata oleh orang tuanya mendapatkan perlakuan yang berbeda, kebanyakan yang akan diperlakukan lebih adalah anak laki-laki katimbang perempuan, misalnya dalam memperoleh kesempatan kebebasan berbuat dirumah, perempuan tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, berbeda dengan anak laki-laki selalu bebas mengemukakan pendapat, bertindak dan selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan keluarga. Lebih jauh lagi apabila hal tersebut menimpa dalam keluarga yang kurang mampu, dapat pula timbul perbedaan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (banyak kita temui di dalam keluarga pedesaan). Atau menganggap laki-laki lebih tinggi derajatnya ketimbang perempuan. Sehingga anggapan yang umum berkembang dalam masayarakat kita, kelahiran anak pertama laki-laki lebih dinanti ketimbang anak perempuan. Ada juga anggapan bahwa perempuan yang telah menikah itu sepenuhnya menjadi milik laki-laki, jadi mau gimana-gimana juga terserah laki-laki (ketergantungan).

Ilustrasi yang demikian dapat terlihat betapa tidak bahwa tanpa disengaja dalam rumah tangga tersebut telah membentuk diskriminasi diantara anak-anaknya. Dan pengalaman yang demikian akan selalu dibawa ketika mereka dewasa dan berumah tangga kelak. Belum lagi kalau ternyata perlakuan yang tidak seimbang tersebut berlaku juga dalam seluruh kehidupan rumah tangga tersebut, artinya tidak terhadap anaknya saja. Sehingga dengan cara pandang semacam itu, posisi laki-laki dan wanita jadi tidak sejajar. Akibatnya dalam praktek kehidupan, wanita banyak ditempatkan pada tempat yang tidak seimbang.
Salah satu factor itulah yang menyebabkan perempuan mendapat ancaman dari dalam rumahnya sendiri, tempat yang semestinya ia merasa aman dan nyaman tersebut. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu nasib yang tidak dapat dielakkan.
Berawal dari factor itulah, perkembangannya banyak muncul persoalan-persoalan dari akibat ketidak seimbangan atau diskriminasi tersebut, yakni adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang disebut dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Akhir-akhir ini persoalan tersebut apabila diibaratkan jamur dimusim penghujan, pelan-pelan tapi pasti, terbukti banyaknya kasus-kasus rumah tangga yang muncul baik melalui tayangan televisi maupun masmedia Koran. Kasus-kasus tersebut hampir semuanya mengarah kepada kekerasan fisik, dan setelah diamati korbannya kebanyakan adalah perempuan dan atau anak-anak, tetapi bukan berarti kaum laki-laki tidak ada yang menjadi korban. Dari data yang diperoleh di Polda Bandung bagian Renakta tahun 2007 menunjukkan bahwa ada beberapa kasus KDRT yang korbannya adalah kaum laki-laki. Oleh karena itu sebenarnya KDRT tidak saja untuk melindungi kaum perempuan, tetapi lebih kepada perlindungan terhadap gender (perempuan dan laki-laki) atau KDRT tidak mengenal diskriminasi.
Ternyata dalam perkembangannya KDRT telah merambah keberbagai kalangan, artinya jangan anda bayangkan kalau korban KDRT hanya menimpa orang pedesaan dan atau ekonomi lemah saja. KDRT yang terjadi sekarang ini telah banyak dialami oleh beragam golongan. Karena banyak pengamat KDRT mengatakan bahwa KDRT sekarang ini memang tidak mengenal status social, tingkat pendidikan, agama, maupun ras, artinya KDRT dapat terjadi kepada siapa saja, ibu rumah tangga, anak, pembantu, karyawan, eksekutif dan lain-lain. Kemudian berdasarkan hasil penelitian tahun 2003 (sumber LBH Apik) pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dari korban (istri). Pelaku yang lainnya adalah majikan, mantan suami, dan atau pihak ketiga dalam lingkungan keluarga.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Dr. Musdah Mulia (tahun 2002 menjadi staf ahli Menteri Agama) untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan masyarakat awam terhadap kesehatan reproduksi di daerah Jawa Barat, terungkap bahwa mayoritas wanita mengeluh mengalami masalah dengan organ-organ reproduksinya. Ada yang mengalami keputihan yang tidak kunjung sembuh, atau pendarahan yang terus-menerus. Setelah ditanyakan lebih jauh tentang kehidupan berumah tangganya, kebanyakan mengaku hubungan mereka dengan suami tidak harmonis, dibawah tekanan, tidak puas dalam membina rumah tangga, menderita bathin, dan lain sebagainya.
KDRT memang tidak sekedar kekerasan fisik seperti tamparan, pukulan, atau tendangan. Tetapi kekerasan tersebut digolongkan ke dalam 4 golongan yaitu, kekerasan fisik. Psikis, sex, dan penelantaran terhadap keluarga (bisa jadi ekonomi atau yang disebut dengan kekerasan ekonomi). Seorang korban (bisa perempuan atau anak) bisa mengalami semuanya dalam waktu bersamaan, sehingga ada yang cacat bahkan hingga meninggal dunia.
Bila tidak sampai meninggal, biasanya korban menderita depresi, trauma atau merasakan kesakitan yang berkepanjangan dan menjadi cenderung untuk melakukan bunuh diri (banyak terjadi pada anak-anak dewasa ini). Selain itu, kekerasan juga mengakibatkan turunnya kemampuan bekerja, mengurangi kemungkinan berprestasi ditempat kerja, hingga beresiko dipecat misalnya.
Mengapa terjadi demikian, itu lebih disebabkan karena, sebagian besar masyarakat kita kurang kurang ditanamkan hubungan kemanusiaan (saling menghargai dan menghormati). Baik dalam pendidikan formal maupun dalam rumah sendiri (kedua orang tuanya bekerja). Selain itu ada sebagian orang mengatakan itu tergantung pada karakteristik atau sifat indifidu tertentu atau juga keadaan yang cenderung untuk melakukan tindak kekerasan.
Mungkinkah hal tersebut dapat dicegah ? Selama ini, berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh masyarakat yang peduli pada masalah KDRT maupun pemerintah, untuk mengurangi penderitaan korban atau paling tidak KDRT tidak merambat terus. Antara lain yang dilakukan oleh LSM-LSM yang bergerak dibidang perempuan dan juga dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU Penghapusan KDRT.
Pepatah mengatakan, lebih baik mencegah dari pada mengobati. Dalam KDRT hal ini pun sudah seharusnya untuk dilakukan. Dari mana kita harus memulai melakukan pencegahan ?. Secara sederhana tetapi hal ini dapat menjadi suatu pencegahan kekerasan secara dini, yaitu ketika kita pacaran. Apabila selama pacaran (dengan membuka mata dan hati) ada kesan “gejala” adanya kekerasan, meskipun cinta setengah mati, tetap harus peka pada sinyal-sinyal negatif yang dating dari calon pasangan. Bila ada informasi negatif tentang calon jangan menutup mata. Usahakan untuk mencari kebenaran informasi tersebut. Bagaimanapun lebih baik sakit hati sebelum menikah, dari pada menderita sepanjang perkawinannya.
Umumnya wanita sering melupakan hal penting tersebut, karena mungkin terdesak untuk segera menikah, atau bahkan menutup telinga rapat-rapat ketika mendengar informasi negatif tetntang calon pasangan hidupnya dengan mengatakan itu kan masa lalunya sekarang dengan saya baik-baik saja. Padahal sangat sederhana untuk menguji hal tersebut, perhatikan saja selama pacaran ketika pasangan kita mendapatkan masalah atau kegagalan, apa yang akan dilakukannya. Kalau ia mencari kambing hitam dalam meneyelesaikan kegagalannya dan atau dia melampiaskan emosinya dengan memukul atau bertindak anarkhis, itu menunjukkan potensi bahwa sebagai suami nantinya kalau menemui masalah juga akan berbuat demikian.
Begitu pula terhadap pencegahan secara dini yang dilakukan melalui anak-anak atau sejak kecil. Anak-anak mempunyai daya ingat yang kuat, dan bersifat peniru apa yang dilihatnya kemudian cenderung akan dipraktekkan. Nah kalau memori anak-anak kita diisi dengan apa yang dilihat dalam lingkungan kita yang cenderung adanya diskriminasi, tidak saling menghormati dan menghargai antara laki-laki dan perempuan, atau malah tiap hari melihat pertengkaran arang tuanya, misalnya hanya sekedar air kopi yang kurang manis saja bapaknya sudah berkata kasar. Keadaan yang demikian akan dapat mempengaruhi juga terhadap perilaku anak dan kemungkinan besar contoh-contoh tersebut akan dibawa selalu dalam kehidupannya kelak. Dan akan lebih parah lagi kalau anak beranggapan bahwa apa yang dilakukan tersebut sudah benar.


KEKRASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
DAPAT DICEGAH !!!

• ADANYA KETIDAKSEIMBANGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN;
• KURANG MEMAHAMI ATAU TERCIPTANYA HUBUNGAN KEMANUSIAAN YANG HARMONIS
• MENGAPA TERJADI?
A. BUDAYA
B. PENDIDIKAN
C. LINGKUNGAN / PERGAULAN
D. PENGARUH OBAT-OBATAN / MINUMAN KERAS.
• MENYEBABKAN ADANYA TINDAK KEKERASAN SECARA UMUM ATAU KHUSUS (KELUARGA)
ADA 4 KATAGORI KEKERASAN :
A. KEKERASAN FISIK;
B. KEKERASAN SPIKIS;
C. KEKERASAN SEXUAL;
D. KEKERASAN EKONOMI / PENERLANTAR-AN KELUARGA.
• AKIBATNYA al. MENGGANGGU KESEHATAN REPRODUKSI
• MUNGKINKAH DICEGAH ?
SANGAT MUNGKIN UNTUK DICEGAH KALAU KITA PEDULI !!
DAPAT DICEGAH SEJAK DINI DENGAN CARA al. :
A. HATI-HATI MENENTUKAN PASANGAN;
B. MELALUI PENDIDIKAN DASAR ANAK- ANAK;
C. MELALUI LINGKUNGAN KELUARGA;
D. SEGERALAH MELAPOR KEPADA PIHAK YANG BERWAJIB ATAU SEGERALAH MEMINTA BANTUAN HUKUM MELALUI LEMBAGA-LEMBAGA YANG KONSEN TERHADAP PEREMPUAN.














PRIA YANG BERPOTENSI MELAKUKAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

• Cenderung dominan (tidak menghargai prinsip kesetaraan) / egois
• Karena pergaulannya yang keras
• Rasa ingin mengetahui apa yang dikerjakan pasangannya (memeriksa isi SMS, sebentar-sebentar menelepon dll), sehingga menimbulkan ketidak percayaan terhadap pasangannya.
• Pencemburu dan depresi
• Kalau marah atau emosi sering tidak terkontrol (lempar asbak) atau memiliki pemikiran yang tidak rasional.
• Rasa percaya dirinya rendah
• Sering berfikiran negatif
• Manja dan tidak mandiri
• Memiliki pengalaman kekerasan dalam keluarganya yang terdahulu
• Datang dari keluarga yang ayahnya dominan
• Memiliki ketergantungan obet terlarang atau minuman keras

1 komentar: